Pastikan Kita Punya Urgensi dan Alasan Kuat Untuk Mengubah Sistem Pemilu

oleh
Susilo Bambang Yudhoyono

Mengatakan “itu urusan saya dan saya yang punya kuasa”, untuk semua urusan, tentu tidaklah bijak. Sama halnya dengan hukum politik “yang kuat dan besar mesti menang, yang lemah dan kecil ya harus kalah”, tentu juga bukan pilihan kita.

Hal demikian tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita anut bersama. Consensus building yang sering dìwujudkan dalam musyawarah untuk mufakat, berdialog dan berembuk, take and give, itulah nilai-nilai yang dìwariskan oleh para pendiri republik dahulu.

Saya mempelajari secara mendalam, bagaimana dengan cerdas dan arifnya, founding fathers kita ~ Bung Karno, Bung Hatta, Yamin, Supomo, Ki Bagus dan lain-lain.

Bersedia untuk berembuk dan saling mendengar untuk merumuskan dasar-dasar negara baru (Republik Indonesia) yang dìnilai paling tepat.

Kembali ke pokok bahasan, rakyat memang sangat perlu dìberikan penjelasan yang gamblang tentang rencana penggantian sistem pemilu itu.

Apanya yang berbeda antara sistem terbuka dengan sistem tertutup. Mereka harus tahu bahwa kalau yang dìgunakan adalah sistem proporsional tertutup, mereka harus memilih parpol yang dìinginkan.

Selanjutnya partai politiklah yang hakikatnya menentukan kemudian siapa orang yang akan jadi wakil mereka.

Sementara, jika sistem proporsional terbuka yang dìanut, rakyat bisa memilih partainya, bisa memilih orang yang dìpercayai bisa menjadi wakilnya, atau keduanya ~ partai dan orangnya.

Rakyat sungguh perlu diberikan penjelasan tentang rencana penggantian sistem pemilu ini, karena dalam pemilihan umum merekalah yang paling berdaulat. Inilah jiwa dan nafas dari sistem demokrasi.

Dalam artikel sangat singkat ini saya memang tidak hendak menyampaikan pikiran saya tentang mana yang paling tepat, antara sistem proporsional tertutup versus sistem proporsional terbuka.

Meskipun saya punya sejumlah pandangan dan pemikiran, namun bukan itu inti tulisan singkat saya ini.

Saya hanya ingin mengingatkan bahwa perkara besar yang tengah ditangani oleh MK ini adalah isu fundamental, hakikatnya salah satu “fundamental consensus” dalam perjalanan kita sebagai bangsa.

Apalagi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Bagaimana jika putusan MK itu keliru? Tentu bukan sejarah seperti itu yang dìinginkan oleh MK, maupun generasi bangsa saat ini.

Mungkin ada yang bicara, “tidak ada yang tidak bisa dìubah di negeri ini”. Konstitusi pun bisa saja dìubah. Demikian juga sistem pemilu. Pendapat demikian tidaklah salah, dan saya pun amat mengerti.

Saya hanya mengingatkan dengan cara menyampaikan pertanyaan seperti ini. Kalau sebuah konstitusi, undang-undang dan juga sistem pemilu hendak dìubah; mengapa dan bagaimana semua itu dìubah?

Bangsa yang maju dalam tatanan kehidupan yang baik, mesti mengedepankan pentingnya “what, why, how”. Dalam perjalanan ke depan, negeri ini harus memiliki budaya untuk selalu mengedepankan “the power of reason”.

Begitulah karakter bangsa yang maju dan rasional. Permasalahan bangsa mesti dilihat secara utuh dan seraya tetap berorientasi ke depan, serta untuk memenuhi aspirasi besar rakyatnya.

Bukan pikiran dan tindakan musiman, apalagi jika bertentangan dengan kehendak dan pikiran bersama kita sebagai bangsa. Yogyakarta, 18 Februari 2023. (**).

No More Posts Available.

No more pages to load.