Oleh: Riki Rikarno, S.Sn., M.Sn
Dosen IAIN Batusangkar
Beberapa tahun silam tepatnya pada tanggal 5 – 11 Agustus 2018, suatu negeri dipenuhi oleh jerami. Tepatnya sekitaran bendungan yang dibangun oleh rezim pemerintahan Orde Baru yang bernama Bendungan Perahu Berjaya atau lebih dikenal dengan nama Bendung Perjaya.
Nama Bendung Perjaya bukan hanya diberikan untuk sebuah bendungan yang membelah sungai komring namun daerah sekitar juga dinamai dengan desa Bendung Perjaya.
Jerami yang memenuhi bendungan tersebut bukanlah jerami yang menumpuk atau bertebaran disekitar atau disepanjang sungai komering melainkan jerami yang telah dibentuk oleh tangan-tangan kreatif, disulap menjadi patung-patung yang didisplay disekitaran bendungan tersebut.
Patung-patung yang didisplay bukanlah patung yang bertujuan untuk disembah seperti halnya masyarakat primitif, melainkan untuk dilihat, dinikmati dan diamati oleh masyarakat, penikmat dan pengamat seni.
Adapun pameran patung jerami tersebut dinamai dengan “Festival Jeramisebiduk sehaluan”. Tema tersebut diambil dari nilai filosofis dari “jerami” dan “sebiduk sehaluan”.
Seperti yang dipaparkan oleh penggagas event Prayogo, yaitunya: jerami merupakan suatu hal yang sangat penting dalam struktur padi, tanpa adanya batang jerami padi tidak akan pernah ada, baik jeraminya maka akan baik juga padinya, tanpa padi beras tidak akan pernah ada.
Padi merupakan hasil pertanian yang harus ada setiap tahunnya kalau padi gagal panen, maka masyarakat sekitar akan kelaparan bahkan akan menyebabkan kematian.
Selain itu padi juga menjadi simbol dibidang pertanian atau kaum petani, peran petani sangat penting hidup dan berkehidupan tanpa adanya petani proses hidup dan berkehidupan akan tertatih atau bahkan mati suri.
Namun sayangnya generasi muda sekarang ini menjadikan bertani sebagai pilihan terakhir dalam berkehidupan untuk hidup, padahal kalau dilihat nilai filosofis sungguh mulia profesi menjadi seorang petani.
Sebiduk sehaluan (satu biduk satu haluan)merupakan falsafah yang ditinggalkan oleh nenek moyang untuk generasi selanjutnya yang harus dipegang teguh dalam hidup berkehidupan.
Nilai filosofis yang terkandung dalam falsafah tersebut ialah dalam menjalani kehidupan sifat kebersamaan, kesatuan dan gotong royong sangat lah penting kalau ingin selamat dalam kehidupan.
Seperti halnya orang yang hendak berlayar di lautan luas ketika badai datang hendaknya antara nahkoda dan penumpang hendaknya bahu membahu dalam menerjang gelombang yang buas tersebut sehingga selamat sampai ketujuan.
Seumpama rasa kebersamaan, kesatuan dan gotong royong itu hilang maka alamat kapal akan karam diterjang badai dan gelombang.
Paparan dua nilai filosofis di atas dapat disimpulkan, generasi muda ayo bersatu dengan penuh kebersamaan dan gotong royong jangan lah engkau menjadikan bertani menjadi pilihan terakhir dalam berkehidupan. Karena bertani merupakan pekerjaan yang sangat mulia, banyak orang orang-orang yang sukses karena bertani.
Konsep penghargaan dan memuliakan petani inilah yang menjadi landasan ide-ide kreatif dari tim penata ruang bersama kawan-kawan panitia yang dikomandoi oleh mas Awang mencoba menggarab tanah yang luas pembatas aliran-aliran bendung perjaya yang kosong selama ini hanya estetika pas-pasan menjadi sebuah lautan patung-patung jerami bernilai estetika tinggi.