“Mestinya harus ada regulasi dari Pemkab OKU Timur agar pelaku usaha kecil tetap hidup. Jangan sampai lumbung pangan tapi masyarakat susah,” tegasnya.
Faisal menambahkan, untuk membuat satu penggilingan padi membutuhkan modal yang besar. Bahkan untuk pabrik kelas menengah yang membuat beras medium itu membutuhkan dana sebesar Rp 300 juta lebih.
“Saat ini para pengusaha penggilingan harus banting stir cari profesi lain untuk bertahan hidup. Kalaupun ada penggilingan padi yang masih beroperasi saat ini hanya sekitar 20 persen saja,” katanya.
Dampak lain akibat tutupnya penggilingan padi lokal juga dirasakan sejumlah peternak ikan dì Kabupaten OKU Timur.
Sebab imbas dari tidak beroperasinya penggilingan padi, membuat harga dedak mahal. Padahal dedak merupakan salah satu bahan pakan untuk pelet ikan.
Andi salah seorang pemilik tambak ikan patin di OKU Timur mengaku, awalnya harga dedak semasa adanya penggilingan padi hanya Rp 2000 perkilogram. Namun setelah penggilingan padi tidak lagi beroperasi harga dedak mencapai Rp 3500 perkilogram.
“Tak hanya mahal, dedak juga susah dìcari saat ini. Dulu orang nyari dedak ke OKU Timur, kini sudah tebalik, orang OKU Timur beli dedak ke Palembang dan ke pihak PT yang ada di OKU Timur,” ucap Andi. (gas)