Bahkan, dalam UU maupun konvensi internasional d ijelaskan bawah pembatasan, penyimpangan dan peniadaan. Sert penghapusan mata pilih sudah melanggar hak asasi warga negara.
“Warga sebanyak 30 yang tidak bisa memilih saat Pilkades. Padahal saat Pilkada Desember 2020 bisa mencoblos dan terdaftar. Mereka besar d i Pandan Agung, artinya apakah ini penyimpangan,” tanya Beni kepada tim penyelesaian sengketa Pilkades?
Terkait panitia mengambil keputusan keliru ini, Beni mengaku telah berkali-kali mengingatkan Pemerintah Kabupaten OKU Timur.
Terutama Bupati, walau secara non formal. Sebab menurut Beni jika tidak menggunakan hukum yang kuat, d ikhawatirkan menimbulkan hal yang tidak d iinginkan.
“Saya perlu sampaikan ke masyarakat, meski kami DPRD OKU Timur tidak pernah d ilibatkan dalam penyelesaian sengketa Pilkades ini. Tapi kami masih memberikan masukkan. Namun nyatanya dalam memutuskan pelantikan 12 Kepala Desa kemarin kami menilai tidak menggunakan undang – undang secara utuh,” ujarnya.
Sementara, Ketua Komisi I DRPD OKU Timur Fahrurrozi menambahkan, dalam aturannya, penyelesaian sengketa Pilkades ini wajib selesai dalam jangka waktu 30 hari.
Namun yang terjadi, penyelesaian sudah sampai 89 hari. Hal ini menjadi pertanyaan besar pihaknya.
“Dasar Hukum dalam menetapkan pelantikan kemarin juga apa saja, dan bagaimana prosesnya. Sehingga d isepakati pelantikan,” ucapnya.
Terpisah, Asisten I Setda OKU Timur Dwi Supriyanto yang juga ketua panitia pemilihan tingkat kabupaten saat membacakan berita acara, hasil penyelisihan hasil perselisihan pemilihan kepala desa serentak mengatakan,
terkait keberatan pelapor terhadap pemilih yang tidak masuk dalam daftar pemilih tetap, tidak dapat d ipenuhi.