Beberapa jenis roti modern, ada isian atau keragaman toping yang menghiasi kemasan.
Namun, roti ko’ing, justru kebalikannya. Tekstur keras, bentuk bulat permanan dari jaman dulu sampe dì jaman Gen Z.
Selain itu, roti ini rasanya hambar.
Tidak ada isi maupun toping. Kemasannya sangat sederhana, hanya dì kemas dalam plastik kecil biasa.
Satu kemasan biasanya berisi empat atau lima roti. Ada juga roti isi tiga.
Meski tampilan apa adanya terkesan bercanda, namun roti klatak atau ko’ing sangat identik dengan bulan puasa.
Karena, roti ini dì produksi banyak. Sehingga, sepanjang Ramadhan, hampir setiap toko jajanan menyiapkan roti klatak dalam bentuk balan kecil.
Dari beberapa sumber, roti koing berasal dari Kota Palembang, Sumsel. Roti klatak, menjadi salah satu kuliner khas Palembang, selain pempek, model, tekwan masih banyak lainnya.
Pada era 90 an ke bawahnya, roti klatak sangat banyak peminatnya. Baik untuk campuran es, maupun dì santap bersama air gula atau santan yang dì masak.
Roti Klatak Ada Sejak Era Penjajahan Belanda
Roti ko’ing ternyata sudah lama muncul. Produksi sederhana yang pertama kali keluar dì era kependudukan Belanda.
Pada masa itu, masyarakat membuat roti dengan bahan utama gandum. Namun, karena gula sulit di dapat, alhasil roti tersebut dì buat tanpa rasa.
Namun, rasa tawar pada roti ko’ing jadi Identitasnya. Bahwa apapun roti keras tanpa rasa, kerap di sebut ko’ing.
BACA JUGA: Makin Laris, Luweng Kapok Lombok Dina Wong Tambah Menu Sate Entok, Dijamin Menggoyang Lidah
Berdasarkan sumber yang dì dapat, roti ko’ing sudah ada lebih lama lagi. Bahkan, roti tersebut berasal dari luar Indonesia.